Mereka tertawa bersama-sama. Mereka mempunyai seseorang ibu, tetapi pandai mengejekku yang tak mempunyai seorang ibu. Aku hanya bisa ikut tersenyum saat mereka mengejekku. Namun di balik senyumku, tersimpan air mata yang ku sembunyikan.
Menurut
mereka, dibalik senyumku tidak ada maksud yang tersimpan. Semudah itu mereka
mengejekku, tak pernah mereka sadari bahwa perkataan mereka mampu membuatku
menangis dan merasa tak berguna. Aku terus memberikan senyuman untuk
orang-orang yang mengejekku. Hatiku menangis dan sakit.
Suatu ketika
dikelas aku hanya terdiam dan meratapi kesedihan. Tetapi aku tak pernah
menduga, Adinda memberi tisu untuk menghapus air mata.
“Kenapa, Han, kok nangis ? pasti
kamu diejek lagi ya dengan mereka?” tanya Adinda.
“Aku tidak apa-apa, Din,” jawabku
sambil tersenyum.
“Kamu bohong ya? Aku tau kamu
diejek mereka,” kata Adinda.
Aku hanya
menggelengkan kepala dan tersenyum kepada mereka yang mengejekku. Aku berfikir,
dengan mereka mengejekku berarti mereka diam-diam memperdulikanku.
Kemudian
jam belajar dikelas sudah habis, aku bergegas pulang. Lagi-lagi merka
mengejekku, aku hanya menganggukan kepala dan kembali tersenyum.
Mereka terus
saja mengejekku, tak juga berhenti. Aku pulang dengan hati sedih, namun semua
itu ku tutupi dengan senyum ikhlas diwajahku.
Sesungguhnya
aku tak ingin terus seperti ini, aku tidak yakin aku akan selalu kuat mendengar
ocehan mereka tentang aku. Aku ingin
bahagia bersama seorang ibu dan keluarga yang utuh.
Duri Kepa, 08 Desember 2014
Hani Ragil